Rabu, 26 September 2012

ATRIBUSI SOSIAL (SOCIAL ATRIBUTION)


A. PENGERTIAN ATRIBUSI

Atribusi adalah Memahami perilaku diri sendiri atau orang lain dengan menarik kesimpulan tentang , apa yang mendasari atau melatar belakangi perilaku tsb. Myers (1996) : kecenderungan memberi atribusi disebabkan oleh kecenderungan manusia untuk menjelaskan segala sesuatu (sifat ilmuwan manusia), termasuk apa yang ada dibalik perilaku orang lain.
Teori atribusi adalah bagaimana kita membuat keputusan tentang seseorang. Kita membuat sebuah atribusi ketika kita merasa dan mendeskripsikan perilaku seseorang dan mencoba menggali pengetahuan mengapa mereka berperilaku seperti itu.
Kajian tentang atribusi pada awalnya dilakukan oleh Frizt Heider (1958). Menurut Heider, setiap individu pada dasarnya adalah seseorang ilmuwan semu (pseudo scientist) yang berusaha untuk mengerti tingkah laku orang lain dengan mengumpulkan dan memadukan potongan-potongan informasi sampai mereka tiba pada sebuah penjelasan masuk akal tentang sebab-sebab orang lain bertingkah laku tertentu. Dengan kata lain seseorang itu selalu berusaha untuk mencari sebab mengapa seseorang berbuat dengan cara-cara tertentu. Misalkan kita melihat ada seseorang melakukan pencurian. Sebagai manusia kita ingin mengetahui penyebab kenapa dia sampai berbuat demikian.

B. TEORI-TEORI ATRIBUSI

1.    Psikologi “Naif” dari Heider
Minat Psikologi Sosial terhadap proses atribusi diawali dengan teori Fritz Heider (1958) yang peduli tentang usaha kita untuk memahami arti perilaku orang lain, khususnya bagaimana kita mengidentifikasi sebab-sebab tindakannya.
Secara umum, perilaku dapat disebabkan oleh daya-daya personal (personal forces), seperti kemampuan atau usaha dan oleh daya-daya lingkungan (environmental forces), seperti keberuntungan atau taraf kesukaran suatu tugas. Jika suatu tindakan diatribusi sebagai daya personal, akibatnya akan berbeda dengan tindakan yang diatribusi dengan daya lingkungan.
Kita mengatribusi suatu tindakan disebabkan daya personal, hanya jika orang yang kita persepsi tersebut mempunyai kemampuan untuk bertindak, berniat untuk melakukan dan berusaha untuk menyelesaikan tindakannya. Jika demikian, kita beranggapan bahwa atribusi tersebut berhubungan dengan sifatnya, sehingga dapat kita gunakan untuk meramalkan tindakan-tindakan di masa yang akan datang. Di sisi lain, jika kita mengatibusi sebagai daya lingkungan, hal ini tidak ada hubungannya dengan sifat orang yang kita persepsi, sehingga tidak dapat digunakan untuk meramalkan tindakan-tindakan di masa yang akan datang.

2.    Teori Atribusi dari Kelley
Teori Harold Kelley merupakan perkembangan dari Heider. Fokus teori ini, apakah tindakan tertentu disebabkan oleh daya-daya internal atau daya-daya eksternal. Kelley berpandangan bahwa suatu tindakan merupakan suatu akibat atau efek yang terjadi karena adanya sebab. Oleh karena itu, Kelley mengajukan suatu cara untuk mengetahui ada atau tidaknya hal-hal yang menunjuk pada penyebab tindakan, apakah daya internal atau daya eksternal.
Kelley mengajukan tiga faktor dasar yang kita gunakan untuk memutuskan hal tersebut, yaitu:
a. Konsistensi : respon dalam berbagai waktu dan situasi, yaitu sejauh mana seseorang merespon stimulus yang sama dalam situasi atau keadaan yang yang berbeda. Misalnya A bereaksi sama terhadap stimulus pada kesempatna yang berbeda, maka konsistensinya tinggi.
b. Informasi konsensus : bagaimana seseorang bereaksi bila dibandingankan dengan orang-orang lain, terhadap stimulus tertentu. Dalam artian sejauh mana orang-orang lain merespon stimulus yang sama dengan cara yang sama dengan orang yang kita atribusi. Misalnya bila A berperilaku tertentu, sedangkan orang-orang lain tidak berbuat demikian, maka dapat dikatakan bahwa consensus orang yang bersangkutan rendah.
c. Kekhususan (distinctiveness) : sejauh mana orang yang kita atribusi tersebut memberikan respon yang berbeda terhadap berbagai stimulus yang kategorinya lama.
Atribusi eksternal : konsistensi tinggi, konsensus tinggi dan kekhususan tinggi. Atribusi internal : konsistensi tinggi, konsensus rendah dan kekhususan rendah. Atribusi internal-eksternal: konsistensi tinggi, konsensus rendah dan kekhususan tinggi.

  1. Teori Correspondence Interference (Jones dan Davis)
Setiap individu seolah-olah akan membuat inferensi, seperti inferensi statistik, yaitu mencari pola umum (hukum umum) dengan membuang informasi yang tidak relevan. Sebutan inferensi koresponden juga disebabkan karena teori ini mencari korespondensi antara perilaku dengan atribusi disposisional (internal) yang berbeda dengan penyebab-penyebab atribusi situasional.
Teori ini dimaksudkan untuk mengetahui apakah suatu perilaku itu disebabkan oleh disposisi (karakteristik yang bersifat relatif stabil) pada individu atau tidak.
Pertama-tama yang harus diketahui adalah akibat. Dengan mengetahui akibatnya, dapat diketahui intensi atau niat orang berbuat. Diyakini ada niat atau kesengajaan dalam berbuat, kalau individu mempunyai pengetahuan dan kemampuan untuk melakukan suatu tindakan.
Setelah diketahui niat atau kesengajaan maka diinterferensi apakah perbuatan tersebut diperbuat karena faktor disposisional atau bukan. Untuk meyakini adanya faktor disposisional, maka harus ada dua hal yang dipenuhi, yaitu:
a. noncommon effects (akibat khusus) : perilaku tersebut bersifat unik pada individu, yaitu diantara berbagai pilihan yang mungkin dilakukan, individu memilih yang paling unik
b. social desirebility (kepantasan atau kelayakan sosial) : seberapa jauh perbuatan mempunyai nilai sosial yang tinggi. Kalau suatu perbuatan memang diinginkan banyak orang, maka perbuatan tersebut mempunyai nilai kepantasan sosial yang tinggi.

  1. Teori Bernard Weiner
Untuk memahami seseorang dalam kaitannya dengan suatukejadian, Weiner menunjuk dua dimensi, yaitu:
a. dimensi internal-eksternal sebagai sumber kausalitas
b. dimensi stabil-tidak stabil sebagai sifat kausalitas
Dimensi-dimensi Atribusi Menurut Weiner
Stabil secara internal: kemampuan, intelegensi, karakteristik-karakteristik fisik. Stabil secara eksternal: kesulitan tugas, hambatan lingkungan. 
Tidak stabil secara internal: Effort, mood, fatique.Tidak stabil secara eksternal: keberuntungan (luck), kebetulan (chance), kesempatan (opportunity).

C. KESALAHAN ATRIBUSI

Menurut Baron dan Byrne (1994) kesalahan bersumber pada beberapa hal, yaitu:
1.    Kesalahan atribusi yang mendasar (the fundamental attribution error)
Kesalahan atribusi yang mendasar ini diakibatkan kecenderungan untuk selalu memberi internal dalam melihat perilaku seeorang. Misalnya di kantor akademik fakultas dakwah dan ilmu komunikasi, salah seorang petugasnya marah pada salah seorang mahasiswa yang ingin urusannya serba cepat, atau lebih dulu diselesaikan. Oleh karena itu mahasiswa tersebut tidak mematuhi aturan-aturan yang ada, petugas akademik tersebut marah. Orang akan mengambil kesimpulan bahwa pegasai kelurahan merupakan orang yang pemarah, tidak sabar, dan sebagainya.
Nah dari peristiwa tersebut perilaku yang dilihat hanya factor internal saja, namun factor eksternalnya dihiraukan. Cara mengatribusi seperti diatas mungkin tidak tepat, karena ada kemungkinan bahwa orang tersebut marah karena memang didorong oleh factor situasi atau factor eksternal, jadi bukan semata-mata factor internalnya saja.

2.    Efek pelaku-pengamat (the actor-observer effect)
proses persepsi dan atribusi sosial tidak hanya berlaku dalam hubungan antarpribadi, melainkan juga terjadi dalam hubungan antar kelompok, karena pada hakikatnya prinsip-prinsip yang terjadi ditingkat individu dapat digeneralisasikan ke tingkat antar kelompok.
Kesesatan disini adalah orang melihat prilaku orang lain hanya dari factor dalam, sedangkan kalau perilakunya sendiri hanya dilihatnya dari luar. Misalnya A melihat si B jatuh, si A beranggapan si B jatuh karena tidak hati-hati. Sedangkan apabila si A sendiri yang jatuh, si A akan mengatakan dia jatuh karena jalannya licin, sepatunya rusak, dan sebagainya.

3.    Pengutamaan diri sendiri (the self-serving bias)
Setiap orang cenderung untuk membenarkan diri sendiri dan menyalahkan orang lain. Bila orang mengalami keberuntungan, maka orang akan mengatakan itu disebabkan factor internal, sedangkan kegagalan dirinya disebabkan factor eksternal. Misalnya si B berhasil mendapatkan nilai yang bagus, si A akan menunjukkan bahwa si B berhasil karena si B rajin belajar, intelegensinya tinggi, dan sebagainya. Sebaliknya jika A yang mendapatkan nilai yang buruk, si A akan menunjukkan bahwa nilainya jelek diakibatkan soalnya terlalu sulit, dosennya pelit dan sebagainya.
Maka timbullah pertanyaan dibenak kita, mengapa dia melakukan demikian?
Dalam menjawab pertanyaan ini, ada beberapa pendapat, yaitu:
a. Orang mengambil sikap demikian untuk mempertahankan harga dirinya, yaitu bahwa seakan-akan sesuatu yang tidak baik itu disebabkan dari factor luar dirinya. Dengan demikian harga dirinya tidak jatuh.
b. Orang mengambil sikap itu, orang lain akan tetap respek padanya, karena hal-hal yang tidak baik itu disebabkan oleh factor-faktor luar dirinya, sehingga dengan demikian masyarakat akan tetap menghargainya, dan ini disebut self-presentation.

DAFTAR PUSTAKA

- Walgito, Bimo, 2003, Psikologi Sosial, Yogyakarta: ANDI
- http://www.psikologizone.com/teori-atribusi

Tidak ada komentar:

Posting Komentar