“Indonesia Supermarket Bencana” pernyataan semacam ini memang
pantas rasanya diucapkan melihat rentetan bencana yang terjadi di Indonesia.
Seakan tidak pernah lepas dari bencana mulai banjir, gempa bumi, tanah longsor,
angin puting beliung, serta tsunami yang terjadi di Indonesia. Disamping
mengakibatkan kerugian harta benda juga menimbulkan korban jiwa yang cukup
besar. Ribuan orang meninggal dunia, banyak korban yang
selamat menderita sakit dan cacat. Bahkan korban juga mengalami dampak
psikologis akibat bencana, seperti perasaan mati rasa secara emosional,
ketakutan yang berlebihan, kecemasan dan kesedihan yang mendalam. Bagi sebagian
penyintas (orang yang mampu bertahan hidup), dampak ini akan memudar seiring
berjalannya waktu. Tapi beberapa penyintas mengalami hal berbeda, bencana
memberikan dampak psikologis jangka
panjang, baik yang terlihat jelas misalnya depresi , psikosomatis (keluhan fisik yang diakibatkan oleh masalah
psikis) ataupun yang tidak langsung seperti sulit berbaur dengan masyarakat,
lebih temperamen , cenderung lebih agresif dan lain sebagainya.
Dampak
negatif dari bencana yang mencakup dampak psikologis dan sosial, biasa disebut
psikososial. Psikososial berasal dari gabungan dua kata, psiko dan sosial. Kata
“Psiko” mengacu pada aspek psikologis dari individu (pikiran, perasaan dan
perilaku), sedangkan “Sosial” mengacu pada hubungan eksternal individu dengan
orang‐orang lain di
lingkungannya. Berdasarkan asal katanya Psikososial merujuk pada hubungan yang
dinamis antara faktor psikologis dan sosial, yang saling berinteraksi dan
mempengaruhi satu sama lain. Dengan demikian, secara sederhana Dukungan
Psikososial dapat diartikan sebagai kegiatan berstruktur yang bertujuan untuk
meningkatkan kesejahteraan psikososial dengan memperhatikan hubungan dinamis
antara faktor psikologi dan sosial, dimana masing‐masing
saling berinteraksi dan mempengaruhi secara berkelanjutan.
Aspek psikososial sebagai salah satu dampak bencana mulai
mendapatkan perhatian dan penanganan dari pemerintah, masyarakat, serta
lembaga-lembaga yang bekerja dalam isu penanggulangan bencana. Namun
sayangnya, pemahaman tentang pentingnya pemberian dukungan ini tidak sejalan
dengan peningkatan pemahaman tentang apa itu dukungan psikososial. Dukungan
psikososial yang diberikan pasca bencana bertujuan untuk membantu meringankan
beban psikologis dan mencegah reaksi psikologis negatif yang muncul pasca
bencana berkembang menjadi lebih buruk. Dukungan psikososial dapat
mengembalikan individu, keluarga, masyarakat agar setelah peristiwa bencana
terjadi, dapat berfungsi optimal dan memiliki ketangguhan menghadapi masalah
sehingga menjadi produktif dan berdaya guna kembali. Disamping itu dukungan
psikososial juga membantu para relawan untuk mengatasi masalah
psikologis yang muncul akibat dari situasi yang dihadapi. Reaksi psikologis yang buruk tadi tidak hanya dialami oleh
penyintas yang mengalami kejadian langsung. Para sukarelawan dan tenaga medis
juga akan merasakan gejalanya. Mereka mengalami yang disebut dengan Secondary Trauma, yaitu gejala trauma
yang dialami bukan karena mengalami kejadian secara langsung. Suatu gejala
trauma yang umum dialami oleh orang-orang yang bekerja dengan penyintas suatu
bencana. Inti dari dukungan psikososial adalah membantu proses pemulihan
masyarakat dan meningkatkan ketangguhannya atau lebih dikenal dengan istilah
resiliensi.
Karena pentingnya layanan psikososial dalam meningkatkan
ketangguhan masyarakat pasca bencana, maka pelaksanaan layanan psikososial
sebagai respon terhadap bencana perlu dilakukan dengan cara yang tepat. Layanan psikososial tidak hanya
mengajak penyintas bermain-main untuk menghilangkan traumanya, namun lebih dari
itu layanan psikososial harus benar-benar menjadi layanan yang akan membantu
sesuai kebutuhan penyintas. Untuk itu perlu
adanya pemahaman yang sama tentang standar dan prinsip-prinsip dalam manajemen psikososial
bencana. Hal ini diperlukan agar praktek intervensi psikososial dapat dilakukan
secara profesional.
Kurangnya
jumlah relawan dengan pengetahuan yang memadai di bidang intervensi psikososial
sering membahayakan. Karena aspek psikososial pada dasarnya memerlukan
keterampilan khusus terkait kompleksnya permasalahan psikososial yang timbul
baik dari aspek individu maupun aspek masyakarat. Dalam
banyak kasus, jika tidak ada intervensi yang dirancang dengan baik, banyak
korban bencana akan mengalami depresi parah, gangguan kecemasan, gangguan
stress pasca-trauma, dan gangguan emosi lainnya. Bahkan lebih dari dampak fisik
dari bencana, dampak psikologis dapat menyebabkan penderitaan lebih panjang,
mereka akan kehilangan semangat hidup, kemampuan sosial dan merusak nilai-nilai
luhur yang mereka miliki.
Dampak psikologis dari bencana yang dirasakan oleh penyintas tidak
akan sama, hal ini tergantung beberapa faktor yang dapat meningkatkan atau
menurunkan resiko, seperti halnya:
1. Tingkat keparahan. Semakin parah bencana yang
terjadi, maka semakin buruk kemungkinan
dampaknya.
2. Jenis bencana. Bencana yang terjadi
karena manusia akan berdampak lebih parah daripada bencana karena alam. Perang,
terorisme dan kerusuhan sosial akan berdampak lebih parah secara psikologis
dari pada gempa, tsunami ataupun banjir.
3. Jenis kelamin dan usia. Wanita (terutama ibu-ibu yang memiliki anak balita), anak usia
lima sampai sepuluh tahun, dan orang-orang tua memiliki kerentanan lebih tinggi
dari pada yang lain. Orang dengan daya tahan fisik yang lebih lemah, akan
mengintepretasikan suatu ancaman lebih besar/mengerikan daripada seseorang
dengan daya tahan tubuh yang lebih kuat. Sebaliknya pada bayi dan anak-anak
dibawah 2 tahun, meski secara fisik mereka masih lemah, namun kondisi
psikologis mereka sangat ditentukan oleh orang tua atau orang dewasa yang ada
di dekat mereka karena kemampuan kognitif mereka dalam mengenali bahaya masih
terbatas. Jika orang dewasa disekitar mereka bersikap tenang, maka mereka juga
akan tenang.
4. Kepribadian. Orang yang memiliki kepribadian matang, konsep diri yang positif
dan reseliensi yang bagus akan lebih mampu menghadapi kondisi bencana dari pada
yang tidak memiliki.
5. Ketersediaan jaringan dan
dukungan sosial. Dukungan keluarga, teman, dan masyarakat akan mampu
mengurangi kemungkinan efek samping jangka panjang. Masyarakat yang memiliki
hubungan keakraban yang cukup erat, dan saling peduli akan lebih mampu
mengatasi masa-masa sulit daripada masyarakat yang individualis.
6. Pengalaman sebelumnya. Seseorang yang berhasil mengatasi trauma di masa lalu, memiliki
kecenderungan dapat mengatasi bencana berikutnya dengan lebih baik
Faktor-faktor yang dapat meningkatkan atau menurunkan resiko tersebut menjadi salah satu pertimbangan
dalam memberikan intervensi psikososial kepada penyintas. Disamping itu agar intervensi
psikososial tepat sasaran maka perlu dilakukan assesment tentang kondisi
psikososial penyintas dan sumberdaya yang dimiliki. Assesment psikososial
adalah proses untuk mengindentifikasi kondisi psikososial pada suatu
kelompok/individu dan sumberdaya yang mereka miliki. Hasil assessment akan
menjadi panduan dalam pelaksanaan program dukungan psikososial. Beberapa hal
yang perlu diassest meliputi :
1)
Rasa aman. Terbangunnya rasa aman secara psikologis merupakan
dasar intervensi lainnya. Rasa aman psikologis dapat terbangun jika beberapa
syarat terpenuhi, misalnya penyintas mendapatkan makanan, minuman, kesehatan
dan lokasi berlindung yang memadai, penyintas mengetahui atau minimal memiliki
akses informasi mengenai keberadaan anggota keluarganya, dan penyintas memiliki
media untuk mengekspresikan emosinya.
2) Kondisi kesehatan mental.
Kondisi kesehatan mental dapat diassesment melalui berbagai metode, misalnya
dengan angket tentang stres pasca trauma atau menggunakan metode lain, misalnya
melalui media debriefing. Pada anak-anak proses assesment bisa dilakukan dengan
permainan, misalnya dengan menggunakan kartu yang berisikan gejala-gejala
stress atau dengan permainan,
disela-sela permainan pekerja kemanusiaan
melontarkan gejala stress dan meminta anak-anak yang memiliki gejala
tersebut untuk angkat tangan (misalnya, siapa
yang masih sering mimpi banjir?). Anak-anak yang cukup sering angkat tangan
ataupun ditunjuk oleh temannya, perlu mendapatkan perhatian. Kita perlu mencari
informasi lebih lengkap tentang anak tersebut melalui orang tuanya ataupun
orang dewasa lain yang mendampinginya.
3) Kearifan lokal. Setiap budaya
pasti sudah mengembangkan aturan dan tradisi untuk melindungi komunitasnya,
termasuk memandu anggotanya untuk pulih dari suatu bencana. Pekerja kemanusiaan
perlu menggali informasi tentang ritual-ritual atau tradisi yang dimiliki, dan
menggunakannya sebagai bagian dari intervensi psikososial.
Proses assesment harus dilakukan dengan
kreatif, peka terhadap kondisi penyintas
dan peka terhadap budaya
lokal. Pada masa tanggap darurat
assesment dapat dilakukan bersamaan dengan pemberian bantuan bahan pokok. Saat
membagi bantuan, sukarelawan psikososial dapat sambil bertanya kepada
orang-orang ditempat itu tentang orang-orang kondisi kesehatan mental. Atau
dapat dilakukan bersamaan dengan pemeriksaan medis.
* Tulisan ini juga dimuat di Harian Pagi Kabar Madura edisi Rabu 22 Januari 2014
Tidak ada komentar:
Posting Komentar