Definisi
Baron dan Bryne menjelaskan bahwa agresi merupakan suatu bentuk perilaku
yang ditujukan untuk melukai atau mencelakakan individu lain yang tidak
menginginkan datangnya perilaku tersebut. Sedangkan Buss berpendapat bahwa agresi
adalah suatu perilaku yang dilakukan untuk menyakiti, mengancam atau
membahayakan individu-individu, objek-objek yang menjadi sasaran perilaku
tersebut baik secara fisik atau verbal dan langsung atau tidak langsung.
Myers (2005) mengatakan tingkah laku
agresif adalah tingkah laku fisik atau verbal untuk melukai orang lain.
Hal yang
penting dalam definisi agresi adalah adanya ‘niat’ (intensi). Misalnya bila
seorang pemabok mengendarai mobil tanpa sengaja menabrak mobil lain dan
menyebabkan luka-luka pada orang lain, ini tidak termasuk agresi, karena tidak
diniatkan. Menurut Myers (2005), terdapat dua jenis agresi, yaitu hostile
aggression dan instrumental aggression.
1.
Hostile
aggression adalah tindakan agresi yang berasal dari perasaan marah dan
bertujuan menimbulkan sakit serta luka.
2. Instrumental
aggression adalah agresi yang dimaksudkan untuk mencapai tujuan lain, bukan
sekedar untuk menyebabkan rasa sakit.
Faktor-Faktor
Penyebab Perilaku Agresi
Menurut
Davidoff (dalam Mu’tadin, 2002) terdapat beberapa faktor yang dapat menyebabkan
perilaku agresi, yakni :
a.
Faktor Biologis
Ada
beberapa faktor biologis yang mempengaruhi perilaku agresi, yaitu faktor gen,
faktor sistem otak dan faktor kimia berdarah. Berikut ini uraian singkat dari
faktor-faktor tersebut :
1)
Gen berpengaruh pada pembentukan sistem neural otak yang mengatur
penelitian yang dilakukan terhadap binatang, mulai dari yang sulit sampai yang
paling mudah amarahnya, faktor keturunan tampaknya membuat hewan jantan mudah
marah dibandingkan dengan betinanya.
2)
Sistem otak yang terlibat dalam agresi ternyata dapat memperkuat
atau mengendalikan agresi.
3)
Kimia darah. Kimia darah khususnya hormon seks yang sebagian
ditentukan faktor keturunan mempengaruhi prilaku agresi.
b.
Faktor Belajar Sosial
Dengan
menyaksikan perkelahian dan pembunuhan meskipun sedikit pasti akan menimbulkan
rangsangan dan memungkinkan untuk meniru model kekerasan tersebut.
c.
Faktor lingkungan
Perilaku
agresi disebabkan oleh beberapa faktor. Berikut uraian singkat mengenai
faktor-faktor tersebut :
1)
Kemiskinan
Bila
seorang anak dibesarkan dalam lingkungan kemiskinan, maka perilaku agresi
mereka secara alami mengalami peningkatan.
2)
Anonimitas
Kota
besar seperti Jakarta, bandung, surabaya, dan kota besar lainnya menyajikan
berbagai suara, cahaya, dan bermacam informasi yang sangat luar biasa besarnya.
Orang
secara otomatis cenderung berusaha untuk beradaptasi dengan melakukan
penyesuaian diri terhadap rangangan yang berlebihan tersebut. Terlalu banyak rangsangan
indera kongnitif membuat dunia menjadi sangat impersonal, artinya antara satu
orang dengan orang lain tidak lagi saling mengenal atau mengetahui secara baik.
Lebih jauh lagi, setiap individu cenderung menjadi anonim (tidak mempunyai
identitas diri). Bila seseorang merasa anonim, ia cenderung berprilaku semaunya
sendiri, karena ia merasa tidak lagi terikat dengan norma masyarakat dan kurang
bersimpati pada orang lain.
3)
Suhu udara yang panas dan kesesakan
Suhu
suatu lingkungan yang tinggi memiliki dampak terhadap tingkah laku sosial
berupa peningkatan agresivitas.
d.
Faktor Amarah
Marah
merupakan emosi yang memiliki ciri-ciri aktivitas sistem saraf parasimpatik
yang tinggi dan adanya perasaan tidak suka yang sangat kuat yang biasanya
disebabkan adanya kesalahan, yang mungkin myata-nyata atau salah atau juga
tidak.
Teori-Teori Agresi
1. Teori Bawaan
Teori
bawaan atau bakat terdiri atas teori naluri dan teori biologi.
a) Teori Naluri
Freud
dalam teori psikoanalisis klasiknya mengemukakan bahwa agresif adalah satu dari
dua naluri dasar manusia.Kedua naluri tersebut berada dalam alam
ketidaksadaran, khususnya pada bagian dari kepribadian yang disebut idyang
pada prinsipnya selaku ingin agar kemauannya dituruti (prinsip kesenangan atau pleasure
principle).Akan tetapi, tidak semua keinginan id dapat terpenuhi.Kendalinya
terletak pada bagian lain dari kepribadian yang dinamakan super-ego yang
mewakili norma-norma yang ada dalam masyarakat dan ego yang
berhadapan dengan kenyataan.
b) Teori
Biologi
Moyer
(dalam Sarwono, 1997) berpendapat bahwa perilaku agresif ditentukan oleh proses
tertentu yang terjadi di otak dan susunan syaraf pusat. Demikian pula hormon
laki-laki (testoteron) dipercaya sebagai pembawa sifat agresif.
2. Teori
Social Learning Perspective
Teori social learning perspectiveyang
berawal dari sebuah ide bahwa manusia tidak lahir dengan sejumlah
respons-respons agresif tetapi mereka harus memperoleh respons ini dengan cara
mengalaminya secara langsung (direct experience) atau dengan
mengobservasi tingkah laku manusia lainnya. Dengan demikian, berdasarkan
pengalaman masa lalu mereka dan kebudayaan dimana mereka tinggal, individu
mempelajari: (1) berbagai cara untuk menyakiti yang lain, (2) kelompok
mana yang tepat untuk target agresi, (3) tindakan apa yang dibenarkan
sebagai tindakan balas dendam, (4) situasi atau konteks apa yang
mengizinkan seseorang untuk berperilaku agresif. Singkatnya, teori social
learning perspective berusaha menjelaskan bahwa kecenderungan seseorang untuk
berperilaku agresif tergantung pada banyak faktor situasional, yaitu:
pengalaman masa lalu orang tersebut, rewards yang diasosiasikan dengan tindakan
agresif pada masa lalu atau saat ini, dan sikap serta nilai yang membentuk
pemikiran orang tersebut mengenai perilaku agresif.
3. Teori
Lingkungan
1) Teori
Level Adaptasi
Teori ini pada dasarnya sama dengan teori beban
lingkungan. Menurut teori ini, stimulasi level yang rendah maupun level tinggi
mempunyai akibat negatif bagi perilaku. Level stimulasi yang optimal adalah
yang mampu mencapai perilaku optimal pula (Veitch & Arkkelin, 1995).Dengan
demikian dalam teori ini dikenal perbedaan individu dalam level
adaptasi.Adaptasi dilakukan ketika terjadi suatu disonansi di dalam suatu
sistem, artinya ketidakseimbangan antara interaksi manusia dengan lingkungan,
tuntutan lingkungan yang berlebih atau kebutuhan yang tidak sesuai dengan
situasi lingkungan.
Salah satu teori beban lingkungan adalah teori
adaptasi stimulasi yang optimal oleh Wohwill (dalam Fisher, 1984) menyatakan
bahwa ada 3 dimensi hubungan perilaku lingkungan yaitu :
a. Intensitas.
Terlalu banyak orang atau terlalu sedikit orang disekeliling kita, akan membuat
gangguan psikologis. Terlalu banyak orang menyebabkan perasaan sesak (crowding)
dan terlalu sedikit orang merasa terasing (socialisolation);
b. Keanekaragaman.
Keanekaragaman benda atau manusia berakibat terhadap pemrosesan informasi.
Terlalu beraneka membuat perasaan overload dan
kekurangan anekaragaman membuat perasaan monoton, dan
c. Keterpolaan.
Keterpolaan berkaitan dengan kemampuan memprediksi. Jika setting dengan
pola yang tidak jelas dan rumit menyebabkan beban dalam pemrosesan informasi
sehingga stimulus sulit diprediksi, sedangkan pola – pola yang jelas
menyebabkan stimulus mudah diprediksi
2) Teori
Stres Lingkungan ( environment stress theory )
Teori ini merupakan aplikasi teori stres dalam
lingkungan.Stres terdiri atas 3 komponen stressori, proses dan
respon.Stressor merupakan sumber atau stimulus yang mengancam
kesejahteraan seseorang, misalnya suara bising, panas, atau kepadatan.Respon
stres adalah reaksi yang melibatkan komponen emosional, pikiran, fisiologis dan
perilaku. Proses merupakan proses transaksi antara stressor dengan
kapasitas diri. Istilah stres tidak hanya merujuk pada sumber stres, respon
terhadap sumber stres saja, tetapi saling terkait antara ketiganya.
3) Beberapa
Ekologi ( ecological theory )
Perilaku
manusia merupakan bagian dari kompleksitas ekosistem ( Hawley dalam Himmam
& Faturrochman, 1994 ),yang mempunyai beberapa asumsi dasar sebagai berikut
:
a. Perilaku
manusia terkait dengan konteks lingkungan;
b. Interaksi
timbal balik yang menguntungkan antara manusia dan lingkungan;
c. Interaksi
manusia dan lingkungan bersifat dinamis, dan
d. Interaksi
manusia dan lingkungan terjadi dalam berbagai level dan tergantung pada fungsi.
4) Teori Belajar Sosial
Berbeda dari teori bawaan dan
teori frustasi agresif yang menekankan faktor-faktor dorongan dari dalam, teori
belajar sosial lebih memperhatikan faktor tarikan dari luar. Bandura (dalam Sarwono, 1997)
mengatakan bahwa dalam kehidupan sehari-hari pun perilaku agresif dipelajari
dari model yang dilihat dalam keluarga, dalam lingkungan kebudayaan setempat
atau melalui media massa.
Efek Media
Bila hanya dengan menyaksikan orang
dewasa berperilaku agresif dapat menyebabkan anak-anak memperlakukan boneka
dengan agresif, bagaimana akibat kekerasan di media massa bagi anak-anak dan
bagi kita semua? Bagiamana pula akibat kekerasan pada video games di mana
anak-anak ikut berpartisipasi merusak kota, dsb, di layar computer mereka?
Setidaknya ada
lima reaksi yang berbeda yang menjelaskan mengapa kekerasan melalui media dapat
meningkatkan agresi:
1) "Jika
mereka bisa melakukannya, maka saya juga bisa". Ketika seseorang
melihat perilaku kekerasan di TV, hal ini memperlemah hambatan terhadap
perilaku kekerasan yang telah mereka pelajari sebelumnya .
2) ‚Oh,
jadi begitulah cara melakukannya!‛. Ketika orang melihat perilaku kekerasan
di TV, hal ini dapat memicu imitasi, menyediakan ide bagaimana mereka bisa
melakukan hal itu.
3) "Perasaan
yang saya punya harus berupa kemarahan yang nyata, bukan hanya hari yang
menegangkan". Menonton kekerasan memungkinkan banyak orang terhubung
dengan perasaan marah mereka dan membuat respon yang lebih agresif melalui
proses priming (mengingat ingatan masa lalu). Melihat kekerasan di TV,
memungkinkan seseorang menafsirkan perasaan kesal yang ringan sebagai kemarahan
intens, dan lebih besar kemungkinannya untuk menyerang.
4) "Oh,
pemukulan brutal; bagaimana yang ada di saluran lain?". Menonton
banyak kekacauan tampaknya mengurangi ketakutan kita terhadap kekerasan dan
rasa simpati kita untuk para korban, sehingga memudahkan kita untuk hidup dalam
kekerasan dan mungkin lebih mudah bagi kita untuk bertindak agresif.
5) ‚Lebih
baik saya mendapatkan dia sebelum dia mendapatkan saya!‛. Jika menonton TV
lebih banyak membuat kita berpikir dunia adalah tempat yang berbahaya, kita
mungkin menjadi lebih cenderung mempunyai perasaan bermusuhan kepada orang
asing yang mendekati saya di jalan.
Referens :
Baron dan Byrne, 2004. Psikologi
Sosial. Jakarta : Erlangga
David O. Sears, Jonathan L.
Freenman & L. Anne Peplau. 1994. Psikologi Sosial, Jakarta: Erlangga,
Faturochman. 2006. Pengantar Psikologi Sosial, Yogyakarta, Pustaka
Hogg, M. A., & Vaughan, G.
M. 2011. Social
psychology, 6th ed. Essex: Prentice Hall.
Tidak ada komentar:
Posting Komentar